MEMANAS - Warga Desa Sekoban nyaris terlibat konflik dengan pihak PT. FLTI yang diduga membongkar paksa hinting adat, Kamis (10/03/2022). (FOTO: IST)
PALANGKA RAYA, radar-kalteng.com – Situasi antara masyarakat Desa Sekoban, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalteng dengan pihak PT. First Lamandau Timber Internasional (PT FLTI) memanas. Warga murka, lantaran pihak perusahaan dinilai melecehkan adat Dayak Kalteng dengan berencana melanggar Pantang Pali Lompang Begawar yang dipasang masyarakat di areal PT. FLTI, Kamis (10/03/2021).
Terkait informasi dugaan pelecehan adat ini, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Gerdayak Indonesia, Yansen Binti sangat menyayangkan tindakan perusahaan tersebut. Menurutnya, jika benar PT. FLTI melakukan pembongkaran paksa Hinting Adat tersebut, tentunya menimbulkan ketersinggungan masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik antara masyarakat dan PBS.
“Tindakan seperti ini sangat kita sayangkan. Aksi semena-mena perusahaan dapat menimbulkan konflik yang tidak kita inginkan,” jelas Yansen.
Dikatakannya, jika memang masyarakat sudah memasang hinting adat atau portal adat, tujuannya untuk menyelesaikan masalah perusahaan dengan masyarakat. Maka lanjutnya, pihak perusahaan harus berkoordinasi dengan pemangku adat setempat, bukan mengambil tindakan sendiri.
“Tujuan dipasangnya hinting adat, untuk menyelesaikan masalah. Jadi, pihak perusahaan juga harus menghargai itu, dengan mendatangi pemangku adat setempat untuk mencari solusi terbaik,” jelasnya.
Sementara itu, Wendi selaku Ketua Gerdayak Kobar yang mendukung masyarakat Sekoban mengatakan, situasi tidak kondusif tersebut karena pihak perusahaan diduga melanggar ritual adat yang dilakukan masyarakat di areal operasi PT.FLTI. Pemasangan Hinting Adat tersebut, sebelumnya dilakukan masyarakat yang menuntut hak plasma dari perusahaan.
“Pihak perusahaan memicu situasi tidak kondusif dengan mengabaikan hinting adat yang sudah dipasang. Pemasangan hinting adat melalui ritual, jadi tidak bisa dilepas sembarangan, apalagi masalah masyarakat dan perusahaan belum selesai,” tegasnya.
Dia mengatakan, apa yang dilakukan pihak perusahaan sudah menghina adat masyarakat Adat Dayak Kalteng. Sedangkan, masyarakat Kalteng sangat menjunjung tinggi adat yang selama ini dijaga masyarakat Kalteng.
“Kami rencana menuntut secara Hukum Adat terhadap perilaku perusahaan yg tidak beradat. Mereka hanya mau cari untung tanpa mau menjalankan kewajibannya kepada masyarakat, dan sekarang menghina adat Dayak Kalteng,” tegasnya lagi.
Wendi juga menyebutkan, Bupati Lamandau sendiri dalam mediasi meminta agar masalah antara warga Sekoban dan perusahaan dapat diselesaikan dengan baik. Namun yang dilakukan pihak perusahaan, menurutnya justru memperkeruh suasana dan membuat situasi tidak kondusif.
“Masyarakat dan lembaga adat dayak Kalteng juga harus mengetahui ini. Bagaimana pihak PT. FLTI mengabaikan hak masyarakat dan sekarang melecehkan adat masyarakat Dayak Kalteng” sebutnya.
Sementara itu, Ketua DAD Kecamatan Lamandau, Ujang Sea meminta agar sementara ini pihak perusahaan tidak melakukan aktifitas di areal yang masih dalam status Pantang Pali (Hinting Adat). Ia mengatakan, perlu dijelaskan juga bahwa informasi ada pihak yg membuka Hinting Adat bukanlah perwakilan Lembaga atau Petugas adat. Pihak Perusahaan menurutnya, berupaya membuat gesekan di masyarakat.
“Dalam hal ini, diharapkan juga pihak aparat kepolisian untuk menjaga netralitas dalam pendampingan penyelesaian konflik. Aparat yang bertugas harus memahami, bahwa terdapat persoalan kesenjangan sosial di masyarakat,” jelasnya.
Dibeberkannya juga, awal persoalannya adalah pihak PT. FLTI tidak menjalankan kewajiban untuk merealisasikan kebun Plasma. Masyarakat Desa Sekoban menuntut, agar setidaknya ada bagian kebun kemitraan bagi masyarakat desa Sekoban. Menurutnya hal ini wajar, sebab sejak puluhan tahun masyarakat hanya menerima janji oleh perusahaan.
Sebagai informasi, lanjutnya, mengenai areal PT FLTI, sekitar 430 hektar tersebut dibangun dilokasi yang masih status kawasan hutan. Belum ada izin Pelepasan kawasan/pinjam pakai. “Sehingga patut dipertanyakan, apakah benar ada izin HGU di areal tersebut,” pungkasnya.
Sementara itu, Koordinator Lapangan warga Desa Sekoban, Artia Nanti mengatakan jika pihaknya sudah menyampaikan ke pihak PT. FLTI agar tidak memprovokasi masyarakat sekoban.
Khususnya, agar tidak membuka hinting adat sembarangan. Terlebih, jika itu dilakukan oleh orang yang bukan bagian dari lembaga adat. “Saya sudah mengingatkan pihak perusahaan, jangan membuka hinting adat sembarangan. Karena berpotensi menimbulkan konflik,” tegasnya.
Terkait masalah PBS dan masyarakat di Desa Sekoban ini, Willy selaku Pimpinan Borneo Sarang Paruya (BSP) Kalteng, organisasi yg selama ini kerap membantu masyarakat adat berhadapan dengan PBS, ikut angkat bicara. Ia menegaskan, akan mengambil tindakan tegas untuk mendukung warga Sekoban mendapatkan apa yang menjadi haknya. Termasuk mengambil tindakan atas dugaan pelecehan adat yang dilakukan PT FLTI.
“Kami dari BSP akan mengambil tindakan untuk membela hak masyrakat dan membela adat Kalteng. Bagaimana bentuknya, akan kita lihat sesuai perkembangan dilapangan” tegasnya.
Sementara itu, Humas PT FLTI, Mulyadi saat dikonfirmasi masalah ini, hingga kamis (10/03/2022) sore, masih belum memberikan jawaban. (bud)
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Copyright © Radar-Kalteng.com