PRAPERADILAN : Sidang praperadilan perdana yang berlangsung di PN Sampit, Senin (28/12/2020) pagi. FOTO : SPT/RK
RADARKALTENG.COM, SAMPIT – Sidang praperadilan kasus dugaan pembunuhan Nur Fitri (25) dengan tersangka Bong Hiun Tjin alias Acin (60), mulai bergulir di Pengadilan Negeri Sampit, Senin (28/12/2020).
Dalam persidangan yang dipimpin Hakim tunggal tersebut, pihak pemohon, yakni Acin, melalui dua kuasa hukumnya, Prof. Frans Sisu Wuwur dan Fidelis, membacakan isi permohonannya dilanjutkan dengan eksepsi atau jawaban dari pihak termohon, yakni Polres Kotim, melalui tim kuasa hukumnya dari Polda Kalteng.
Dalam isi permohonannya, Prof. Frans Sisu Wuwur dan Fidelis, menegaskan bahwa penetapan tersangka, penahanan dan penangkapan serta penyitaan barang bukti yang dilakukan penyidik, tidak sesuai prosedur, dianggap cacat hukum dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Dalam uraian permohonan itu disebut kalau Acin dijerat dengan Pasal 338 KUHP, Pasal 353 KUHP sub Pasal 351 KUHP. Di mana peristiwa kematian korban sudah berlangsung 3 tahun dan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, penangkapan yang dilakukan cacat hukum dan bertentangan hak asasi manusia.
Menurutnya, syarat formil dan materil tidak terpenuhi. Karena dalam Pasal 18 Ayat (1) KUHAP, petugas harus memperlihatkan surat tugas penangkapan lengkap dengan identitas pemohon dan menjelaskan uraian singkat kejahatan.
Bahkan, saat proses penangkapan, saat itu Acin sendirian di rumahnya di Jalan Anggur II, Kecamatan MB Ketapang, Sampit, dia ditangkap dan ditahan secara paksa tanpa membawa surat tugas atau pamit dengan ketua RT, RW atau diketahui warga sekitar.
“Oleh sebab fakta akibat upaya paksa tindakan yang dilakukan tidak resmi dan sah,” tegas kuasa hukum Acin.
Lanjutnya, dampak dari penangkapan itu, pihak keluarga Acin sempat panik. Saat mereka tiba di rumah, mereka kebingungan setelah melihat Acin bersama dua buah kendaraan roda empatnya tidak ada di rumah.
Keluarga pun sempat membuat laporan ke Polres Kotim terkait hilangnya Acin tersebut, hingga keesokan harinya yakni pada tanggal 9 Oktober 2020, pihak keluarga baru mendapatkan informasi kalau pemohon ditahan atas kasus pembunuhan tersebut.
Disebutkan pemohon, tindakan tersebut tidak sesuai dengan etika hukum dan bertentangan dengan kebijakan hukum, selain itu mereka juga turut mempertanyakan apakah ada alat bukti baru sehingga pemohon dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan tersebut sejak dijadikan sebagai saksi setelah 3 tahun proses tersebut bergulir.
Mereka juga dalam permohonannya mempermasalahkan soal barang bukti 2 unit mobil, lantaran yang kini dijadikan barang bukti hanya ada 1 unit saja sementara 1 unit lainnya tidak diketahui keberadaannya.
Akibat tindakan tersebut, mereka juga menuntut kerugian materiil sebesar Rp 6 miliar dan inmateriil Rp 8 miliar akibat perbuatan sewenang-wenang pihak Kepolisian.
Dari itu mereka dalam permohonannya meminta agar diterima atau dikabulkan serta meminta agar Acun dibebaskan dan merehabilitasi namanya.
“Kalau majelis hakim yang mulia memiliki pertimbangan lain, kami berharapkan putusan yang seadil-adilnya,” sebut Fidelis.
Sementara dalam jawabannya, kuasa dari pihak Polres Kotim dalam jawaban praperadilan yang dibacakan AKP Aji Suseno itu menyebutkan objek praperadilan tidak konsisten dan tidak jelas.
Seperti uraian adanya pelanggaran asasi, mereka beranggapan demikian sudah jelas sarana yang diberikan yakni melalui propam, penetapan sebagai tersangka sebagaimana Pasal 17 KUHAP harus ada minimal dua alat bukti sudah dipenuhi oleh penyidik yang mana mereka memiliki 4 alat bukti yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk.
Begitu juga dengan penangkapan dilakukan sudah cukup bukti dan bukti permulaan yang cukup dan dilengkapi dengan surat penangkapan dan ada berita acara penangkapan sehingga tidak ada mengada-ngada atau penangkapan secara liar dan itu dilakukan sesuai prosedur hukum.
Begitu juga tindakan penahanan yang dilakukan sudah berdasarkan pertimbangan penyidik dengan beberapa aspek pertimbangan khawatir tersangka melarikan diri menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana, serta penyitaan yang dilakukan sudah melalui proses izin dari ketua Pengadilan Negeri.
Seperti diketahui Nur Fitri ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa pada Sabtu, 14 Oktober 2017 sekitar pukul 03.00 Wib. Jasad perempuan yang kala itu mengenakan atasan hijau dan celana jeans biru itu ditemukan di Jalan Pramuka Km 2,5 Kelurahan Sawahan, Kecamatan MB Ketapang, Kabupaten Kotim.
Fitri tewas dengan luka parah dibagian wajahnya, diduga akibat hantaman benda tumpul, dan jasadnya tergeletak di TKP. Kini kasus ini terkuat sejak perkaranya diproses oleh Polres Kotim dan ditingkatkan ke penyidikan pada Agustus 2020 lalu. (spt/rk)
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Copyright © Radar-Kalteng.com