GUNAKAN TEKNOLOGI - Siswa SMPN Tewang Manyangen, Kecamatan Tewang Sangalang Garing, Kabupaten Katingan sedang mencari bahan belajar mempergunakan gawai atau Handphone.
PEMBELAJARAN abad 21 menjadi lengkap dengan perkembangan teknologi yang ada. Perkembangan teknologi komunikasi yang menghasilkan segala berita dan informasi ada dalam genggaman dalam bentuk ponsel pintar, turut memberikan jalan bagi perkembangan pendidikan yang lebih mengandalkan teknologi. Keinginan agar pembelajaran dapat dilakukan dengan mengakses berbagai informasi secara global tanpa ada batasan, menjadikan penggunaan gawai atau ponsel menjadi lumrah. Penggunaan ponsel pintar sendiri seringkali menjadi terobosan terkait dengan inovasi-inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik. Berbagai aplikasi terkait pembelajaran semakin dikembangkan untuk mendukung penggunaan gawai dalam pembelajaran.
Bisnis ponsel pintar yang semakin berkembang, menghasilkan gawai dengan harga rendah tetapi menggunakan teknologi yang lebih tinggi. Spesifikasi gawai dengan kemampuan yang mumpuni dan mendukung revolusi pembelajaran pada abad ini. Selain gawai, produk penyedia jaringan nirkabel atau internet pun turut berkembang. Perkembangan jaringan dengan kecepatan dibawah 1 Mbps (2G), kecepatan diatas 1 Mbps (3G), kecepatan hingga 20 Mbps (4G), hingga pada jaringan internet dengan kecepatan diatas 20 Mbps (5G) turut berkembang seiring dengan perkembangan kualitas gawai. Selain kecepatan, perluasan jaringan pun mendukung penggunaan gawai dalam pembelajaran hingga pada pelosok wilayah Indonesia.
Saat penggunaan teknologi semakin menggila terutama yang berhubungan dengan gawai atau ponsel pintar, dunia pendidikan dihebohkan dengan penyimpangan penggunaan gawai tersebut di sekolah. Mulai dari hanya digunakan bermain game oleh peserta didik hingga pada keterlibatannya dalam Judi Online. Dari pandangan masyarakat pun muncul kubu yang mendukung serta kubu yang menolak penggunaan gawai di sekolah. Selain dari masyarakat, sekolah kini mulai membatasi penggunaan gawai di sekolah. Bahkan ada sekolah yang melarang siswanya membawa gawai ke sekolah dengan alasan apapun. Bagi sekolah-sekolah yang menolak gawai, biasanya memberikan fasilitas kepada peserta didik terutama terkait mengabarkan berbagai informasi pada orang tua peserta didiknya. Karena kebanyakan orang tua memberikan gawai pada anak agar dapat melancarkan komunikasi, terutama saat berada di luar rumah termasuk juga di sekolah.
Dari sisi kurikulum pendidikan, pemerintah malah memberikan kewajiban penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Bahkan pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait penguasaan teknologi melalui koding dalam pembelajaran. Hal ini di satu sisi menjadikan kebingungan bagi masyarakat, di satu sisi masyarakat ingin membatasi penggunaan gawai bagi peserta didik tapi di sisi lain kebijakan pendidikan yang seolah mengharuskan penguasaan gawai dan teknologi dalam rangka menyongsong Indonesia Emas. Peserta didik pun cenderung menggunakan gawai bukan untuk belajar, melainkan mempermudah dalam mencari jawaban. Kebiasaan instan dalam menemukan jawaban malah menjadikan peserta didik bukannya berpikir kritis malah malas berpikir. Berbagai aplikasi dimana hanya dengan memindai saja melalui gawai maka langkah dan cara menjawab pertanyaan akan langsung muncul disertai jawaban yang benar sudah bermunculan seiring dengan perkembangan teknologi Arificial Intelegensi atau kecerdasan buatan.
Peserta didik menjadikan kecerdasan buatan sebagai sarana untuk mencari jawaban dan bukan sebagai sarana mencari sumber-sumber relevan dalam menjawab pertanyaan. Hal ini pada akhirnya menjadikan gawai yang digunakan oleh peserta didik malah menjadi penghambat munculnya pemikiran kritis. Gawai atau Ponsel Pintar yang seharusnya membantu peserta didik dalam mengembangkan pemikiran kritis, kreatifitas, dan kolaborasi, malah menjadikan peserta didik tidak mau berpikir keras karena sangat percaya dengan jawaban yang didapatkan dari aplikasi. Bahkan gawai atau ponsel pintar bukannya memperkuat kolaborasi antara peserta didik, malah menjadikan peserta didik lebih individualis karena merasa bahwa dapat menyelesaikan semua tugas sekolahnya dalam genggaman saja.
Upaya dalam menyesuaikan penggunaan gawai pada peserta didik dengan baik, kita dapat mengintegrasikan Teori Self-Determination yang dikemukakan oleh Edward Deci dan Richard Ryan dan Teori Pembelajaran Sosial oleh Albert Bandura. Dalam konteks penggunaan gawai dalam pendidikan memberikan pendekatan yang lebih holistik membimbing siswa untuk mencapai potensi terbaik mereka.
Teori Self-Determination yang dikemukakan oleh Edward Deci dan Richard Ryan berfokus pada pemenuhan tiga kebutuhan psikologis dasar yang sangat penting untuk motivasi intrinsik dan perkembangan pribadi seseorang: autonomi, kompetensi, dan hubungan sosial. Gawai memberikan rasa kebebasan bagi siswa untuk menjelajahi dunia pembelajaran secara lebih mandiri, yang tentunya mendukung perkembangan motivasi intrinsik mereka. Namun, kebebasan ini juga memiliki tantangan tersendiri. Siswa yang tidak dibimbing dengan baik dalam menggunakan gawai bisa terjebak dalam penggunaan teknologi yang tidak produktif—misalnya, terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hiburan digital atau media sosial. Penggunaan gawai yang tidak terkontrol ini bisa mengganggu rasa otonomi mereka dalam mencapai tujuan pendidikan yang lebih bermakna. Oleh karena itu, pendidik perlu memfasilitasi penggunaan teknologi secara bijak, memastikan bahwa siswa merasa memiliki kendali atas proses belajar mereka, tetapi dalam konteks yang tetap produktif dan bermanfaat.
Kompetensi adalah kebutuhan psikologis yang terkait dengan perasaan mampu dan percaya diri dalam melakukan tugas atau tantangan. Penggunaan gawai dalam pendidikan dapat sangat mendukung pengembangan kompetensi ini. Misalnya, aplikasi yang mengajarkan keterampilan teknis atau aplikasi yang memberikan umpan balik secara langsung memungkinkan siswa untuk merasakan kemajuan mereka. Mereka dapat melihat hasil dari usaha mereka, mendapatkan penghargaan atas pencapaian, dan merasa lebih kompeten dalam subjek yang sedang mereka pelajari.
Namun, jika siswa terlalu bergantung pada jawaban instan yang diberikan oleh gawai, misalnya menggunakan aplikasi yang memberikan solusi secara otomatis, hal ini bisa mengurangi kesempatan mereka untuk benar-benar mengembangkan kompetensi mereka secara mendalam. Mereka mungkin akan merasa kurang percaya diri dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks karena terbiasa mencari solusi tanpa berusaha terlebih dahulu. Pendidik harus memastikan bahwa siswa tidak hanya menggunakan teknologi untuk mempermudah hidup mereka, tetapi juga untuk memperkuat kemampuan mereka melalui upaya dan pemecahan masalah yang lebih mendalam.
Komponen ketiga dalam teori Self-Determination adalah hubungan sosial, yang mencakup rasa keterhubungan dengan orang lain, baik itu teman, guru, atau anggota masyarakat lainnya. Dalam konteks penggunaan gawai, teknologi dapat memperkaya pengalaman hubungan sosial siswa. Aplikasi pembelajaran kolaboratif, forum diskusi, atau grup belajar daring memberikan peluang bagi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya mereka, berkolaborasi, dan belajar bersama. Kolaborasi ini penting dalam mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan bekerja dalam tim yang sangat dibutuhkan di dunia kerja dan kehidupan sehari-hari. Namun, jika penggunaan gawai terlalu berfokus pada kegiatan individual, seperti bermain game atau mengakses informasi secara pribadi tanpa berbagi dengan orang lain, hubungan sosial yang diharapkan tidak akan terbentuk. Gawai bisa menjadi alat yang memperkuat isolasi sosial jika tidak digunakan dengan bijak. Oleh karena itu, pendidik harus mendorong siswa untuk menggunakan teknologi sebagai sarana kolaborasi, yang memperkuat interaksi mereka dengan teman-teman dan anggota komunitas mereka.
Sedangkan Albert Bandura dalam teori Pembelajaran Sosial mengemukakan bahwa orang belajar bukan hanya melalui pengalaman langsung, tetapi juga melalui observasi dan peniruan terhadap perilaku orang lain. Dalam konteks penggunaan gawai dalam pendidikan, teori ini sangat relevan, terutama karena gawai memberikan siswa kesempatan untuk mengamati dan meniru perilaku yang mereka lihat di dunia maya. Menurut Bandura, siswa belajar dengan mengamati orang lain dan meniru perilaku yang mereka anggap positif atau berhasil. Gawai memungkinkan siswa untuk mengakses berbagai model perilaku, baik dari guru, teman sebaya, atau orang-orang yang mereka anggap sebagai teladan. Misalnya, dengan menggunakan gawai, siswa dapat mengikuti tutorial video yang menunjukkan cara-cara efektif dalam menyelesaikan tugas atau masalah. Melalui proses ini, siswa menginternalisasi cara-cara tersebut dan menirunya dalam pekerjaan mereka sendiri. Namun, jika gawai digunakan untuk mengakses konten negatif, seperti konten yang tidak mendidik atau perilaku yang tidak pantas, siswa bisa meniru perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan yang diharapkan. Oleh karena itu, pendidik harus dapat membimbing siswa untuk memilih model perilaku yang positif melalui gawai dan menghindari pengaruh negatif yang bisa merusak perkembangan mereka.
Salah satu komponen penting dalam teori pembelajaran sosial Bandura adalah penguatan sosial, yaitu penghargaan atau pengakuan terhadap perilaku yang diinginkan. Dalam konteks pembelajaran menggunakan gawai, penguatan sosial ini dapat diwujudkan dalam bentuk umpan balik positif dari guru atau teman sebaya melalui platform daring, pencapaian yang tercatat dalam aplikasi pembelajaran, atau penghargaan yang diberikan dalam bentuk digital, seperti lencana atau poin. Namun, penting untuk diingat bahwa penguatan yang berlebihan atau tidak tepat bisa menyebabkan siswa menjadi tergantung pada penghargaan eksternal dan mengurangi motivasi intrinsik mereka. Dalam hal ini, pendidik harus berfokus pada pemberian umfedback konstruktif yang tidak hanya mengapresiasi hasil akhir, tetapi juga proses belajar yang dijalani oleh siswa. Hal ini akan mengarahkan siswa pada keterlibatan jangka panjang dalam belajar dan mengurangi ketergantungan pada penguatan eksternal.
Seperti yang telah disebutkan, teori pembelajaran sosial juga menekankan pada pentingnya kolaborasi dalam proses belajar. Penggunaan gawai dalam pembelajaran dapat mendukung pemodelan kolaboratif, di mana siswa bisa bekerja sama dalam menyelesaikan proyek atau masalah dengan bantuan aplikasi pembelajaran berbasis kelompok. Mereka dapat belajar dari cara teman-teman mereka menghadapi tantangan, bagaimana mereka mengorganisir ide, atau bagaimana mereka berkomunikasi dalam tim. Namun, sekali lagi, jika siswa hanya terfokus pada penggunaan gawai secara individual tanpa adanya kolaborasi atau berbagi informasi dengan orang lain, maka manfaat dari pemodelan sosial akan berkurang. Pendidik memiliki peran penting untuk memastikan bahwa teknologi tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan tugas secara cepat, tetapi juga untuk mendorong kolaborasi antar siswa, yang pada gilirannya akan memperkaya proses pembelajaran sosial mereka.
Mengintegrasikan Teori Self-Determination dan Teori Pembelajaran Sosial dalam konteks penggunaan gawai dalam pendidikan memberikan pendekatan yang lebih holistik dalam membimbing siswa untuk mencapai potensi terbaik mereka. Dengan memenuhi kebutuhan autonomi, kompetensi, dan hubungan sosial melalui penggunaan gawai yang terarah, kita dapat membantu siswa merasa lebih terlibat dan termotivasi dalam proses pembelajaran mereka. Di sisi lain, penguatan sosial yang positif dan pemodelan perilaku yang baik melalui gawai dapat memperkaya pengalaman belajar siswa, memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuan sosial yang sangat penting di era digital ini. Namun, tantangan terbesar tetap pada kontrol penggunaan teknologi. Jika tidak dipandu dengan baik, penggunaan gawai dapat mengarah pada ketergantungan pada solusi instan dan isolasi sosial. Oleh karena itu, peran pendidik dalam mengarahkan penggunaan teknologi secara bijaksana dan mendorong kolaborasi antara siswa sangatlah penting untuk menciptakan pengalaman belajar yang seimbang dan bermanfaat.
Dengan kata lain unsur paling penting terkait penggunaan gawai agar dapat memberikan hasil yang manis seperti madu yang bermanfaat dalam pengembangan diri peserta didik adalah wajib didukung pengawasan yang kuat. Pengawasan dilakukan oleh semua pranata yang terlibat dalam pendidikan anak, yaitu keluarga,sekolah, dan juga masyarakat. Dalam keluarga, memastikan bahwa gawai diberikan pada anak di usia yang tepat sesuai dengan perkembangannya. Keluarga sebagai pranata utama pembentukan karakter peserta didik wajib menjadi garda terdepan dalam hal pengawasan penggunaan gawai ini. Yang menjadi masalah adalah anggapan bahwa anak sudah waktunya belajar teknologi sehingga orang tua memberikan gawai berupa ponsel pintar kepada anaknya pada saat si anak meminta, bukan pada saat ia benar-benar sudah mampu bertanggung jawab terhadap penggunaannya. Rasa kasihan terhadap anak yang kemudian menjerumuskan penyimpangan penggunaan sehingga saat masuk usia sekolah maka anak malah akan tergantung pada gawainya dan bukan menjadikan gawai sebagai sarana lagi.
Selain dari perilaku anak, orang tua pun secara tidak sadar menanamkan pembiasaan melalui tingkah lakunya sendiri. Orang tua secara tidak sadar lebih banyak menggunakan gawainya dibandingkan berkomunikasi langsung dengan anaknya. Keluarga yang dekat menjadi sangat jauh akibat penggunaan gawai yang tidak tepat. Penggunaan gawai yang tepat adalah menempatkan nya sesuai fungsinya, yaitu pada fungsi alat komunikasi dan mencari informasi. Bukan hanya menjadi alat hiburan murah yang kemudian menghabiskan waktu penggunanya. Penggunaan gawai yang bijak oleh orang tua juga akan memberikan contoh nyata bagi anak. Walau sesekali tetap penggunaan perangkat sebagai hiburan diperbolehkan, tapi tetap melalui kesepakatan bersama antara orang tua dan anak.
Sekolah sebagai pranata yang turut membentuk peserta didiknya untuk berhasil juga wajib memberikan pengawasan terhadap penggunaan gawai ini. Sekolah harus membuat kesepakatan bersama dengan orang tua dan peserta didik terkait prosedur penggunaan gawai. Orang tua dan peserta didik pun wajib mentaati kesepakatan yang telah dibuat bersama dengan sekolah. Dengan demikian penggunaan gawai juga akan dapat diawasi dengan baik oleh pihak sekolah. Selain itu seluruh warga sekolah pun harus mentaati aturan yang ada terkait hal tersebut semisal penggunaan gawai di sekolah hanya sebagai alat komunikasi, mengumpulkan informasi, dan sarana edukasi. Sehingga segala aktifitas di luar itu tidak diperbolehkan di lingkungan sekolah. Hal ini mengikat bukan hanya bagi peserta didik tapi juga bagi pendidik guna memberikan contoh yang baik agar sistem yang dibangun dapat berjalan dengan sempurna.
Masyarakat pun tidak boleh tinggal diam dalam hal pengawasan. Masyarakat harus berani memberikan teguran terhadap tindakan yang berlebih yang dilakukan oleh anak usia sekolah saat berkumpul. Buka hanya membiarkan anak-anak berkumpul dan bermain game hingga larut malam ataupun hanya menonton video-video hiburan yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan. Kesalahan pengawasan dari salah satunya saja jelas akan memberikan impact negatif bagi si anak. Sehingga penggunaan gawai yang seharusnya seperti madu malah menjadi racun yang menggerogoti masa depan anak. Anak akan malas belajar karena semua jawaban bisa ditemukan melalui aplikasi. Hasilnya, kemampuan anak dalam berpikir kritis menjadi rendah, emosi yang labil, serta sikap yang mau menang sendiri, dan kurang bersosialisasi.
Melalui pengawasan yang tepat dan telah menghasilkan pembiasaan pada peserta didik maka hal terakhir adalah memastikan bahwa anak sebagai peserta didik di sekolah telah siap dalam menerima pembelajaran dan dapat hadir sepenuhnya guna mengikuti kegiatan pembelajaran tanpa ada ketergantungan terhadap benda apapun (Mindfulnes). Ini merupakan hal penting untuk dapat menghasilkan pembelajaran di kelas bisa memberikan dampak dan membekas bukan hanya dalam pikiran melainkan di hari peserta didik (Meaningful). Dengan terwujudnya hal tersebut maka sekolah akan terasa lebih menyenangkan, karena adanya keseimbangan dalam hal penggunaan gawai dalam menunjang aktivitas pembelajaran (Joyful).
Jadi mari kita awasi penggunaan gawai bagi anak kita, peserta didik kita, maupun anak-anak usia sekolah di sekitar kita. Karena tanpa pengawasan yang baik maka mereka akan lebih cenderung menggunakan gawai kepada hal negatif. Bukan hanya banyak bermain game ataupun menonton video saja, melainkan sudah merambah pada kegiatan judi online. Kesadaran kita akan masa depan bangsa harus didukung dengan langkah nyata kita sebagai orang tua, pendidik, maupun masyarakat, bukan hanya dalam memberikan pengertian terkait penggunaan gawai yang sehat tapi juga mengawasi penggunaan gawai. Satu yang tidak boleh kita lupakan adalah sebagai orang tua, pendidik, maupun sebagai bagian dari masyarakat kita wajib memberikan contoh yang baik terkait dengan penggunaan gawai. (*)
(Penulis : Yessi Kristiana, S.Pd, Mahasiswa Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Palangka Raya)
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Copyright © Radar-Kalteng.com